Ahmad MA

Hanya Blog Biasa
Entah perasaan apa yang menyelimutiku saat ini, degup jantung sepertinya sedang berlomba-lomba menyahut engkau yang sudah membeku di kepala. Tak ada penawar yang dapat meredam, geram gemeretak gigi hanya dijadikan pengalih dari rasa yang tak berdefenisi ini.

Hai engkau pemilik nama yang membeku di kepala, beristirahatlah sejenak, berikanlah jeda pada ingatanku barang sebentar saja, atau biarkan aku jatuh di palungmu yang paling dalam untuk dapat sekadar memberikan kecupan kening sebagai penawar dari rahasia rasa yang menyiksa ini.

Hai engkau pemilik nama yang menetap di ingatan,  meski kukatup mata sepenuh tutup, tak hentinya kau menari di kepala, seraya mengajak bernyanyi di seperempat malam dan aku menikmatinya dengan berguling-guling di atas kasur tak berguling.

Sudah beberapa hari ini kepalaku seperti bandara, yang sibuk dengan kedatangan dan keberangkatan yang kesemuanya bernama engkau, sayang.

Hujan kali ini membuat saya sembab dan sendu, rindu dirajut waktu yang pemalu. Saya menengadahkan kepala, mencari sebagian aku yang tanah pada tubuhmu yang langit.

Bulir-bulir yang turun terlihat anggun menari bersama waktu, sedang kau asik terperangkap di kepalaku yang angkuh. Pada disetiap rintiknya rindunya yang haru, ia tak ragu menunggu kau, sebab sementara adalah abadi yang sebenarnya.

Ketahuilah, melalui Doa-doa caraku mengingat kau, rumah dari segala kepulanganku berlabuh.



Tak ada yang lebih haru dari hadir yang ditunggu [1] seperti seorang ibu merayakan haru rindunya pada anaknya yang pulang, [2] senyum kecil seorang anak pada penjual mainan bersepeda yang sekedar lewat depan rumahnya, [3] atau seperti saya mendambakan kau yang hujan di balik jendela.

Ketahuilah, dahulu saya senang melihat hujan dari balik jendela rumah di kampung. Kadang hujan tahu bagaimana mengiringi Ibu yang sabar melantunkan Yaba’ Lale’ di bawah kolong rumah panggung, untuk si Bungsu dalam ayunan sarung.

Sejak saat itu setiap senja tiba, saya selalu duduk di balik jendela. Menunggu ia membawa rindu di antara rintik-rintiknya yang pemalu, atau sekedar bercerita di antara jendela tentang wajah langit yang sendu dan kadang pemarah.

Hingga haru yang ditunggu pun hadir, saya dan jendela merayakan takdir!

Sore itu di antara langit bermata teduh dan tanah kering, rintiknya turun membawa haru yang diharap. Tanpa menunggu aba-aba, saya sudah duduk kembali di balik jendela, merajut payung dari petrichor sambil menanti senja dan pelangi.

Mulai Saat Itu Dunia Saya Bernama Kau Yang Hujan


Note: Yaba’ Lale’ adalah lagu yang biasa dinyanyikan Perempuan Bugis saat menidurkan anaknya di ayunan - Petrichor adalah aroma yang timbul saat hujan menyentuh tanah.
Hingga saat ini pertanyaan mengapa teman-teman dua tahun lalu memilih saya untuk mengemban tanggung jawab di Komunitas Blogger sebesar AngingMammiri.org belum juga terjawabkan. Karena banyaknya kekurangan serta minimnya pengalaman hingga pertimbangan untuk tawaran menakhodai Komunitas Blogger Makassar pun saat itu sempat menjadi dilema besar bagi saya pribadi. Siapa coba yang tidak mau menjadi ketua untuk komunitas sebesar AngingMammiri, di sisi lain mampu tidak menjalankan amanah besar ini. Tapi dari masukan saat melakukan konsultasi jabatan itu ke Daeng Ipul dan Rara akhirnya tawaran tersebut saya terima dengan banyak pertimbangan-pertimbangan mengambang di kepala.

Setelah proses itu berjalan, akhirnya saya baru menyadari, ternyata menjalankan sebuah komunitas bukan hanya terpaku dari siapa dan secerdas apa sosok nakhodanya, tapi ada yang lebih penting dari semua itu, yakni siapa orang-orang di sekelilingnya atau lingkaran yang membantu dan menggerakkan komunitas itu untuk terus hidup dan jauh berjalan kedepan. Tanpa mereka semua, nakhoda hanyalah seorang nakhoda yang tidak bisa berbuat banyak untuk mengarahkan kapalnya ketujuan.


Selama 2 tahun masa kepengurusan yang saya lalui, mereka tak lelahnya bekerja penuh cinta, menjadi teman, sehabat serta menjadi keluarga baru yang mempunyai banyak cerita di rumah bernama Anging Mammiri, perjalanan 2 tahun kepengurusan yang saya jalani adalah hasil kerja keras dari mereka tentunya, sudah sepantasnya penghargaan tertinggi dari yang tertinggi disematkan pada teman-teman pengurus komunitas blogger Makassar AngingMammiri, tanpa mereka nakhoda hanyalah sebatas nakhoda yang tak bisa berbuat banyak.

Tanggal 25 November 2015 haru itu memuncak di acara syukuran ulang tahun Blogger Makassar, tongkat estafet kepemimpinan berganti pada generasi yang baru untuk perjalanan yang lebih jauh kedepan. Tidak, tidak, haru itu bukan karena menyerahkan kepemimpinan pada nakhoda yang baru, haru dari segala haru itu ketika saya merasa ditinggalkan pengurus-pengurus hebat seperti mereka yang sudah membantu menggerakkan kapal ini ke dermaga persinggahannya, sebab tujuan dari kapal yang kami bawa masih jauh kedepan, ia hanya berganti nakhoda dan awak yang baru.


Terima kasih sekali lagi untuk dedikasi sahabat pengurus selama 2 tahun ini.
Generasi Baru di Keluarga AngingMammiri

Pada abad ke-13 di Sulawesi Selatan, terdapat Sembilan kerajaan-kerajaan kecil berdaulat yang terdiri dari Tomboloq, Parang-parang, Lakiung, Bissei, Dataq, Kalling, Serroq, Samata, dan Agang Jekne yang selalu larut dalam pertikaian antar sesama, kerajaan kuat menyerang yang lemah dan yang lemah berusaha bangkit melawan yang kuat, maka dari itu perseteruan yang melibatkan sembilan kerajaan itu disebut “Sikanre Juku” bila diartikan ikan yang saling memakan.

Pada saat yang perseteruan itu terjadi, muncullah sosok Manurung Perempuan (perempuan yang turun dari langit) di Tamalate atau yang biasa disebut Manurung ri Tamalate, kesembilan kerajaan-kerajaan yang bertikai ini pun tunduk dan menyembah pada kekuasaan Manurun ri Tamalate, kesembilan pemimpin kerajaan itulah yang kita kenal dengan "Bate Salapang".


Bukan sebuah kebetulan ketika ulang tahun Komunitas Blogger Makassar ke-9 di tahun ini juga mendapatkan sosok pemimpin perempuan, sosok periang, cerdas dan selalu ingin belajar, Nur Al Marwah Asrul. Dipundaknyalah generasi baru Komunitas Blogger Makassar itu akan lahir, saya percaya dan sangat-sangat percaya, perempuan mungil yang memiliki hobi makan ini akan mampu membawa kapal bernama komunitas Blogger Makassar AngingMammiri berjalan jauh, dan lebih jauh lagi dari sebelumnya, seperti kisah bagaimana Manurung ri Tamalate dapat mendamaikan ke Sembilan kerajaan-kerajaan kecil dan membuatnya semakin besar dan besar.

Sekali lagi terima kasih atas kepercayaan yang diberikan selama 2 tahun ini untuk memimpin Komunitas Blogger Makassar AngingMammiri, terima kasih kepada teman-teman pengurus, teman-teman komunitas di Makassar, serta individu yang turut membantu selama saya mengemban amanah di Komunitas ini. Selamat Ulang tahun yang ke Sembilan untuk Paccarita dan selamat menjalankan kepengurusan berikutnya kakak Nunu.

Kurrusumange


Bagi sebagian orang bila mendengarkan kata “Tabasco” pikirannya langsung tertuju pada sebuah saus cabai pedas yang dicampurkan dengan cuka. Tapi kali ini kita akan berbicara tentang Tabasco yang terbuat dari kepala seorang pemuda Makassar yang penuh dengan kejutan. Namanya Artha, pemuda berkacamata berambut keriting salah seorang personil dari band Tabasco asal Makassar. Malam itu kami membuat janji untuk segelas kopi dan obrolan tentang musik dan album perdana “Solitary” yang baru dikeluarkan oleh bandnya.

Tahun 2009, Artha (vocal/gitar) membentuk Tabasco bersama ketiga teman kuliahnya di Makassar, yakni Hamka (gitar), Indra (bass) dan Randi (drum). Dengan mengusung musik britpop, pada tahun 2011 band ini sempat mengeluarkan mini album EP yang berisikan 4 lagu, yakni Sunday Romance, Roller Coaster, After Rain dan Try. Mini album ini dirilis terbatas, hanya 50 keping CD saja.

Saya lupa, kapan tepatnya pertama kali mendengarkan Sunday Romance milik Tabasco. Yang jelas lagu tersebut pertama kali saya dengarkan dari smartphone seorang kawan, Echa (dulunya official fotografer Tabasco) yang memang mengoleksi empat lagu band tersebut.

SUNDAY ROMANCE dibuka dengan petikan gitar yang entah memakai berapa ketukan / bit nada, disambung dengan hentakan pukulan drum yang dengan romantisnya terdengar bercumbu dengan bunyian gitar bass. Intro musik tersebut sudah memberikan kesan pertama yang energik di gendang telinga. Masuknya suara sengau sang vokalis melantunkan lirik yang menceritakan tentang perasaan manusia yang selalu merasa tidak pernah puas itu, lantas membuat lagu Sunday Romance punya rumah sendiri di ruang kepala. Itu adalah kesan pertama saya ketika mendengarkan lagu milik band Tabasco.

Selepas mengeluarkan mini album EP, Indra (bass) keluar dari Tabasco setelah lulus di salah satu kantor pemerintahan dan digantikan oleh Ilman. Satu tahun berselang, giliran sang drummer Randi ikut mengundurkan diri karena ingin fokus pada dunia lukis, ia pun digantikan oleh Rendi. Keempat personil inilah yang bertahan hingga saat ini yakni Artha (vocal/gital), Ilman (bass/vocal), Hamka (gitar) dan Rendi (drum).

Pada tahun 2013, Tabasco ingin membuat album yang serius, “Tahun 2013 teman-teman sepakat ingin membuat album yang lebih serius. Saya pun mulai membuat materi-materi lagunya. Nama albumnya pun sudah ada di kepala di tahun tersebut, Solitary,” ujar Artha menjelaskan sambil menyeruput cappucino panas yang sedari tadi dipesannya.

Pemuda yang tergila-gila dengan band Radiohead tersebut menceritakan, saat proses pembuatan lagu seperti bukan dirinya yang bekerja. Semuanya seakan terjadi dalam dunia alam sadarnya, dan kembali ketika semuanya sudah selesai, semua sudah di kepala. Ia sisa merekamnya lewat smartphone dan menunjukkannya pada teman-teman Tabasco untuk proses improvisasi dan finalisasi lagu.

“Saat membuat lagu Sunday Romance, nadanya terinspirasi dari musik-musik film animasi berjudul bad . ketika mendengar suara nada yang bagus dari film animasi tersebut, saya ikuti pelan-pelan dengan gitar dan mulai mengembangkannya, sepertinya semua dikerjakan oleh alam sadarku, setelah saya dapat lalu saya rekam dengan HP,” ujar pemuda yang mengaku lebih dulu menulis lirik ini ketimbang pintar bermain gitar.

Saat proses membuat materi lagu, Artha yang terinspirasi menulis lirik dari vocalis band Muse itu mengambil hal-hal sederhana yang ia dapatkan disekitarnya. Seperti saat proses pembuatan lagu Silent Echo, ia terinspirasi dari salah satu lembaran komik karya seorang mangaka jepang favoritnya sejak kecil, yakni Adachi Mitsuru.

“Lagu Silent Echo itu berasal dari lembaran karya Adachi Mitsuru yang tidak punya teks, sebuah gambar anak kecil di tepi sungai dipenuhi salju yang mendapatkan remote dari seorang alien. Komik itu memang tidak mempunyai teks, tapi bukankah itu seperti biasanya doa yang selalu diam,” katanya saat membagi pengalamannya malam itu.

Beda lagi dengan proses pembuatan lagu yang berjudul Radio, lagu itu terinspirasi dari radio. Saat ia merasa bosan dengan siaran-siaran radio yang hanya memutar lagu-lagu saja, beda dengan nyawa dari radio yang sebenarnya, “Deh dulu saja, banyak orang dengarkan proklamasi Kemerdekaan dari radio’ji, sekarang dipenuhi mi sama lagu. Makanya lagu itu saya tulis,” ujarnya dengan logat Makassar, “Tapi lirik lagu Radio 10 kali saya revisi, lirik lagu terbanyak revisinya di Solitary,” lanjutnya.

Rekaman adalah proses dari segala proses dalam pembuatan Solitary. Satu tahun tiga bulan Tabasco bergelut dengan kesabaran, fokus, serta meluangkan waktu. “Saya harus bersabar tidak mencari pekerjaan hampir 2 tahun untuk album ini. Teman-teman Tabasco rela meluangkan waktunya disela-sela kesibukan pekerjaan rutinnya untuk mengisi aransemen dari tiap-tiap lagunya. Rekaman memang proses terberat dari semua proses dari pembuatan album ini,”, ujarnya serta menghela napas panjang di atas kursi kayu coffeshop malam itu.

Rekaman album Solitary dikerjakan oleh Suwandi (salah satu official Tabasco), pada komputer PC dengan dua monitor yang terhubung bersamaan di ruang tengah rumah bertingkat dua milik Artha yang bertempat di Jalan Abdullah Daeng. Sirua, kompleks CV. Dewi. Dengan berbekal software khusus untuk keperluan rekaman, Suwandi mulai merekam aransemen dari tiap-tiap lagu yang akan dimasukkan dalam album, merekam vokal dari lagu adalah tahap paling terakhir yang dikerjakan, sebelum menyatukan semua aransemen tersebut menjadi kesatuan lagu.

“Yang paling susah itu mencocokkan waktu teman-teman saat proses rekaman, karena masing-masing sudah punya kerjaan yang harus diselesaikan dulu. Tapi waktu itu saya paling pusing sama Hamka. Teman-teman yang lain bisa’ji mengisi saat waktu kosong. Tapi kalau dia’mi mau-maunya, datang pi mungkin moodnya baru mau rekaman,” ujar Artha dengan raut lemas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan. “Pertengahan tahun 2014 saya pernah betul-betul stuck (berhenti) selama seminggu. Mungkin karena terlalu fokus dengan musik dan keseringan mendengarkan lagu-lagu yang itu-itu terus,” lanjutnya.

Semua rekaman yang dikerjakan oleh Tabasco rampung pada Desember 2014. Setelah itu, dilanjut lagi dengan proses mastering. Karena peralatan untuk proses tersebut mereka belum punya dan membutuhkan keahlian khusus, pekerjaan itu pun diserahkan ke pihak luar. Proses masteringnya mulai Januari 2015 dan selesai bulan April 2015.

solitary

Cover warna hijau, merah, kuning dan biru album Solitary dikerjakan oleh Asnur, seorang arsitek muda yang juga biasa bermain musik bersama Artha di band Eddington. Menurut Asnur, ia sengaja memasukan 4 unsur warna sebagai representasi dari lahir, susah, sukses dan menderita. Lagu-lagu dalam album Tabasco juga lebih kearah keempat unsur tersebut. Sedang corak desainnya lebih mengarah ke aliran Tabasco, yakni britpop. Untuk warna sendiri ia sengaja tidak beri pola, kesannya seperti isi kepala Artha yang belum berpola tapi penuh dengan kejutan. “Ini desain paling banyak revisinya yang pernah saya kerja. Ada 11 kali revisi kalau tidak salah,” lanjutnya lewat percakapan aplikasi chatting.

Album Solitary ini tentang hal-hal apa yang mungkin terpikirkan saat ‘menikmati kesunyian’ baik itu senang dan bahagia, berisi 13 lagu yang kesemua berlirik berbahasa Inggris, yakni After rain, Sunday romance, Radio, Paper plane, Roller coaster, Antenna, Giving up the pain, Street lights, Green lake, Try, Spectacle, Silent echo, Yellow fragile heart. Menurut Artha, biasanya orang membuat konsep album dengan menghubungkan lagu pertama hingga lagu terakhir. Tapi di album perdana Tabasco ini tidak seperti itu; yang menghubungkan kesemua lagu hanya Solitary atau kesunyian. “Garis merah dalam album ini ada pada lirik dan cara saya membuat lagu. Sebenearnya album ini bisa dikatakan best of the best dari lagu-lagu tabasco,” lanjutnya sambil kembali membakar rokoknya.

Untuk proses pemasaran dan distribusi albumnya, Artha membangun sebuah perusahaan record bersama teman-temannya yang diberi nama Aliquisallie. Album Tabasco yang dihargai Rp. 40.000 tersebut akan didistribusikan oleh perusahaan tersebut ke 40 titik di Indonesia. “Berkah dari kesabaran mengurus album ini adalah kami membuat usaha record sendiri bersama teman-teman. Kemarin (23 juni 2015) juga Tabasco sudah membuat video clip dari album ini dan dikerjakan juga oleh Aliquisallie,” ujarnya dengan senyum kecil.

note: artikel ini sudah diposting di http://makassarnolkm.com/solitary-kolase-musik-dan-perayaan-kesunyian/
Sejak berabad-abad lalu, suku Bugis mengenal 2 metode dalam melestarikan Kebudayaannya, yakni [1] tradisi tulis (catatan yang dikenal dengan Lontara), dan [2] tradisi lisan (Massureq, membacakan Lontara dengan cara melagu dan tidak menggunakan musik). Massureq adalah salah satu Mahakarya Indonesia yang sangat vital dalam penyebaran ajaran-ajaran orang Bugis dulu yang tercatat dalam naskah Lontara.

**** 

Bibir wanita paruh baya itu melafalkan merdu aksara-aksara Bugis yang ia salin dalam buku Lontara tua bersampul merah miliknya, sedang jari telunjuk kanannya dipakai sebagai pemandu bacaan. Nada suara wanita berkacamata minus itu sesekali melengking tinggi, gemahnya seakan memecah suasana di atas rumah panggung berdinding papan miliknya di desa Buloe, Kacamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo – Sulawesi Selatan.
Previous PostOlder Posts Home