Ahmad MA

Hanya Blog Biasa

Senandung Passureq Bugis

Leave a Comment
Sejak berabad-abad lalu, suku Bugis mengenal 2 metode dalam melestarikan Kebudayaannya, yakni [1] tradisi tulis (catatan yang dikenal dengan Lontara), dan [2] tradisi lisan (Massureq, membacakan Lontara dengan cara melagu dan tidak menggunakan musik). Massureq adalah salah satu Mahakarya Indonesia yang sangat vital dalam penyebaran ajaran-ajaran orang Bugis dulu yang tercatat dalam naskah Lontara.

**** 

Bibir wanita paruh baya itu melafalkan merdu aksara-aksara Bugis yang ia salin dalam buku Lontara tua bersampul merah miliknya, sedang jari telunjuk kanannya dipakai sebagai pemandu bacaan. Nada suara wanita berkacamata minus itu sesekali melengking tinggi, gemahnya seakan memecah suasana di atas rumah panggung berdinding papan miliknya di desa Buloe, Kacamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo – Sulawesi Selatan.




Wanita paruh baya itu bernama Indo’ Masseq – berumur 70 tahun, ia salah satu Passureq (bahasa Bugis yang berarti pembaca Lontara suku Bugis dengan metode melagu) yang masih bertahan di Sulawesi Selatan. Indo Masseq mulai mengenal Massureq sejak 47 tahun lalu, saat kemarau panjang melanda kampung Maniangpajo, Indo Masseq yang saat itu berusia 23 tahun menyaksikan ritual meminta hujan di rumah Lawarangnge. Di antara semua prosesi ritual yang diadakan di Lawarangnge, hanya tradisi Massureq yang dapat membuat bulu kuduknya merinding. “Berawal dari situlah keinginan untuk mempelajari Massureq bermula”, ujar Indo Masseq dalam bahasa Bugis yang kental.

 

Massureq adalah satu dari tiga kompenen inti yang sering digunakan dalam berbagai upacara suci dan sakral. Massureq bisa dijumpai saat, Mappano Bine (upacara menidurkan benih padi), Maccera’ Tasi’ (persembahan untuk laut), Menre’ Bola (naik rumah baru), Mattemu Taung (menziarahi kuburan leluhur), dan masih banyak lainnya. Upacara-upacara suci dan sakral tersebut selalu dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yakni: [1] Bissu atau pendeta Bugis yang memiliki tugas memimpin upacara ritual, [2] Sanro yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara. serta [3] Passureq, pembaca dan penembang lontara Bugis.

Berdasarkan catatan Roger Tol – 1987, dalam The Heroic Fall of Bone, saat membacakan atau Massureq Lontara La Galigo, selalu akan diadakan sebuah ritual dan persembahan yang sakral. Sebelum lontara tersebut dibacakan, harus ada persembahan sajian, dupa serta pemotongan ayam atau kambing (1990:10). Pada tahun tahun 1951- 1965 saat gerakan Tentara Islam Indonesia atau DI/TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, praktik-praktik kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam saat itu dibumi hanguskan. Peran para komponen penjaga Sureq La Galigo seperti Bissu, Sanro dan Passureq pun perlahan memudar karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Pada tahun 1960, Abdul Kahar Muzakkar (44 tahun) yang saat itu menjadi komandan gerakan DI/TII di Sulawesi dinyatakan ditembak mati olehpasukan TNI dalam operasi Tumpas di Lasolo. Kabar kematian komandan gerakan itu pun menyebar hingga mengakibatkan gerakan-gerakan Tentara Islam Indonesia berlahan hilang. Praktik-praktir ritual kebudayaan yang dulunya dianggap menyimpang dari syariat Islam pun berlahan kembali bermunculan.

*****



“Dulu, saat belajar Massureq, saya harus mendengarkan cara membaca sureq Wa’ganda (salah satu passureq terkenal tahun 50an di Sengkang) melalui kaset pita. Itu pun saya harus dengarkan berulang-ulang hingga menghapalkan ritme irama dari Massureq”, jelas Indo Masseq berusaha mengenang kisahnya. “Setelah ritmenya saya kuasai, saya kembali harus belajar aksara Lontara tua pada mertua saya Indo Ruseng. Nanti saya benar-benar menguasai Massureq ini setelah 3 tahun kemudian” lanjutnya.

Saat tahun 1972, Indo Masseq dipanggil Massureq untuk pertama kalinya, saat itu acara Mappano Bine atau upacara menidurkan benih padi di Maniangpajo. Saat itu ia membacakan kisah Meong Palo Karellae, sebuah kisah Dewi Padi yang diturunkan oleh Batara Guru ke bumi bersama seekor kucing. Dalam acara tersebut ia Massureq semalam suntuk di hadapan benih padi dan peserta upacara Mappano Bine. Hal tersebut dilakukan untuk memintah hasil panen yang melimpah pada Dewata Sewwae, ujar Indo Masseq.

Setiap kali menjalankan tugas Massureq, Indo Masseq diupah dengan bahan makanan pokok seperti beras, kepala, gula merah, ubi, pisang, ayam hingga kadang kambing bila acaranya terbilang besar. Selain bahan makanan pokok, Indo Masseq juga biasa menerima imbalan berupa uang sekitar Rp. 100.000 sampai Rp. 200.000 perpenampilan. “Biasana iya lekki dui akko acara-acara botting (indonesia: Biasanya kalau dikasi uang itu saat acara-acara pernikahan)” ujar berliau dalam bahasa Bugis.

Karena ia pernah merasakan betapa sulit ketika mempelajari salah satu tradisi masyarakat Bugis yang hampir punah ini. Tahun 1988, ilmu Massureq Indo Masseq pun diturunkannya pada anak keduanya, yakni Indo Wero (yang saat ini sudah berusia 37 tahun). Setiap malam di dalam kelambu kamar tidurnya, Indo Masseq dengan sabarnya mengajarkan tradisi lisan Bugis tersebut pada Indo Wero, mulai dari aksara-aksara Lontara tua hingga irama-irama saat membacakannya. Indo Wero kecil pun sering diikutkan dalam pementasan Indo Masseq diberbagai desa di Kabupaten Wajo saat itu.

Setelah kelahiran anak pertama, Indo Ware sudah tidak pernah lagi ikut Massureq bersama Indo Masseq. “ekkani lakkeng sibawa ana’ iurusu, apa lagi dena sibola sibwa indo’ (Indonesia: sudah ada suami dan anak yang harus diurus, lagian saat ini sudah tidak satu rumah dengan Indo’)”, ujarnya sambil tertawa kecil dengan menggunakan bahasa Bugis.

Selain mengajarkan Massureq pada Indo Wero. Tahun 2005 Indo Masseq juga membuka kelas Massureq di rumahnya atas bantuan dari Ibu Nurhayati – Dosen Budaya Universitas Hasanuddin. Sekitar kurang lebih 70 mahasiswa dari Makassar datang untuk belajar Massureq ke rumah beliau. Kadang pula Indo Masseq yang ke Makassar untuk mengajarkan kebudayaan Massureq pada mahasiswa kebudayaan Unhas. Aktifitas mengajar tersebut dilakukan selama sekitar 1 tahun lebih dan sayangnya sekarang tidak dilanjutkan lagi.

“Karena dulu di sini dibuat sebuah kelas, sangat sayang saja bila tidak dipergunakan lagi. Makanya saya dan Indo Wero membuka kelas Massureq pada anak-anak SD di desa Buloe saat itu” ujarnya. “Anak-anak SD yang dulu saya ajar Massureq kini sudah beranjak SMP dan SMA, anak-anak dulunya yang saya ajar sekarang sudah punya kesibukan sendiri-sendiri dan tidak lagi memikirkan Massureq” lanjut Indo Masseq sambil membetulkan letak kacamatanya.

Baginya, Massureq adalah jiwa yang tak bisa dipisahkan lagi dalam kehidupannya. Keinginan untuk melestarikan tradisi lisan masyarakat bugis tersebut tak pernah berhenti. “Kalau masih bisa diberikan kesempatan lagi, saya masih ingin mengajarkan tradisi ini di Makassar agar tradisi ini punya generasi yang panjang” ujarnya penuh dengan harapan pada saya sore itu.

Massureq adalah jiwa dari kebudayaan suku Bugis, bila berbicara budaya kita tidak lain berbicara jati diri dari Indonesia itu sendiri. Kini Passureq di Kabupaten Wajo hanya tersisa hitungan jari saja, mungkin 5 atau 10 tahun ke depan budaya lisan Massureq sudah tidak bisa kita nikmati lagi secara langsung sebab usia para Passureq di Wajo kini rata-rata sekitar 60an hingga 80an Tahun.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment