Solitary: Perayaan Kesunyian
Bagi sebagian orang bila mendengarkan kata “Tabasco” pikirannya langsung tertuju pada sebuah saus cabai pedas yang dicampurkan dengan cuka. Tapi kali ini kita akan berbicara tentang Tabasco yang terbuat dari kepala seorang pemuda Makassar yang penuh dengan kejutan. Namanya Artha, pemuda berkacamata berambut keriting salah seorang personil dari band Tabasco asal Makassar. Malam itu kami membuat janji untuk segelas kopi dan obrolan tentang musik dan album perdana “Solitary” yang baru dikeluarkan oleh bandnya.
Tahun 2009, Artha (vocal/gitar) membentuk Tabasco bersama ketiga teman kuliahnya di Makassar, yakni Hamka (gitar), Indra (bass) dan Randi (drum). Dengan mengusung musik britpop, pada tahun 2011 band ini sempat mengeluarkan mini album EP yang berisikan 4 lagu, yakni Sunday Romance, Roller Coaster, After Rain dan Try. Mini album ini dirilis terbatas, hanya 50 keping CD saja.
Saya lupa, kapan tepatnya pertama kali mendengarkan Sunday Romance milik Tabasco. Yang jelas lagu tersebut pertama kali saya dengarkan dari smartphone seorang kawan, Echa (dulunya official fotografer Tabasco) yang memang mengoleksi empat lagu band tersebut.
SUNDAY ROMANCE dibuka dengan petikan gitar yang entah memakai berapa ketukan / bit nada, disambung dengan hentakan pukulan drum yang dengan romantisnya terdengar bercumbu dengan bunyian gitar bass. Intro musik tersebut sudah memberikan kesan pertama yang energik di gendang telinga. Masuknya suara sengau sang vokalis melantunkan lirik yang menceritakan tentang perasaan manusia yang selalu merasa tidak pernah puas itu, lantas membuat lagu Sunday Romance punya rumah sendiri di ruang kepala. Itu adalah kesan pertama saya ketika mendengarkan lagu milik band Tabasco.
Selepas mengeluarkan mini album EP, Indra (bass) keluar dari Tabasco setelah lulus di salah satu kantor pemerintahan dan digantikan oleh Ilman. Satu tahun berselang, giliran sang drummer Randi ikut mengundurkan diri karena ingin fokus pada dunia lukis, ia pun digantikan oleh Rendi. Keempat personil inilah yang bertahan hingga saat ini yakni Artha (vocal/gital), Ilman (bass/vocal), Hamka (gitar) dan Rendi (drum).
Pada tahun 2013, Tabasco ingin membuat album yang serius, “Tahun 2013 teman-teman sepakat ingin membuat album yang lebih serius. Saya pun mulai membuat materi-materi lagunya. Nama albumnya pun sudah ada di kepala di tahun tersebut, Solitary,” ujar Artha menjelaskan sambil menyeruput cappucino panas yang sedari tadi dipesannya.
Pemuda yang tergila-gila dengan band Radiohead tersebut menceritakan, saat proses pembuatan lagu seperti bukan dirinya yang bekerja. Semuanya seakan terjadi dalam dunia alam sadarnya, dan kembali ketika semuanya sudah selesai, semua sudah di kepala. Ia sisa merekamnya lewat smartphone dan menunjukkannya pada teman-teman Tabasco untuk proses improvisasi dan finalisasi lagu.
“Saat membuat lagu Sunday Romance, nadanya terinspirasi dari musik-musik film animasi berjudul bad . ketika mendengar suara nada yang bagus dari film animasi tersebut, saya ikuti pelan-pelan dengan gitar dan mulai mengembangkannya, sepertinya semua dikerjakan oleh alam sadarku, setelah saya dapat lalu saya rekam dengan HP,” ujar pemuda yang mengaku lebih dulu menulis lirik ini ketimbang pintar bermain gitar.
Saat proses membuat materi lagu, Artha yang terinspirasi menulis lirik dari vocalis band Muse itu mengambil hal-hal sederhana yang ia dapatkan disekitarnya. Seperti saat proses pembuatan lagu Silent Echo, ia terinspirasi dari salah satu lembaran komik karya seorang mangaka jepang favoritnya sejak kecil, yakni Adachi Mitsuru.
“Lagu Silent Echo itu berasal dari lembaran karya Adachi Mitsuru yang tidak punya teks, sebuah gambar anak kecil di tepi sungai dipenuhi salju yang mendapatkan remote dari seorang alien. Komik itu memang tidak mempunyai teks, tapi bukankah itu seperti biasanya doa yang selalu diam,” katanya saat membagi pengalamannya malam itu.
Beda lagi dengan proses pembuatan lagu yang berjudul Radio, lagu itu terinspirasi dari radio. Saat ia merasa bosan dengan siaran-siaran radio yang hanya memutar lagu-lagu saja, beda dengan nyawa dari radio yang sebenarnya, “Deh dulu saja, banyak orang dengarkan proklamasi Kemerdekaan dari radio’ji, sekarang dipenuhi mi sama lagu. Makanya lagu itu saya tulis,” ujarnya dengan logat Makassar, “Tapi lirik lagu Radio 10 kali saya revisi, lirik lagu terbanyak revisinya di Solitary,” lanjutnya.
Rekaman adalah proses dari segala proses dalam pembuatan Solitary. Satu tahun tiga bulan Tabasco bergelut dengan kesabaran, fokus, serta meluangkan waktu. “Saya harus bersabar tidak mencari pekerjaan hampir 2 tahun untuk album ini. Teman-teman Tabasco rela meluangkan waktunya disela-sela kesibukan pekerjaan rutinnya untuk mengisi aransemen dari tiap-tiap lagunya. Rekaman memang proses terberat dari semua proses dari pembuatan album ini,”, ujarnya serta menghela napas panjang di atas kursi kayu coffeshop malam itu.
Rekaman album Solitary dikerjakan oleh Suwandi (salah satu official Tabasco), pada komputer PC dengan dua monitor yang terhubung bersamaan di ruang tengah rumah bertingkat dua milik Artha yang bertempat di Jalan Abdullah Daeng. Sirua, kompleks CV. Dewi. Dengan berbekal software khusus untuk keperluan rekaman, Suwandi mulai merekam aransemen dari tiap-tiap lagu yang akan dimasukkan dalam album, merekam vokal dari lagu adalah tahap paling terakhir yang dikerjakan, sebelum menyatukan semua aransemen tersebut menjadi kesatuan lagu.
“Yang paling susah itu mencocokkan waktu teman-teman saat proses rekaman, karena masing-masing sudah punya kerjaan yang harus diselesaikan dulu. Tapi waktu itu saya paling pusing sama Hamka. Teman-teman yang lain bisa’ji mengisi saat waktu kosong. Tapi kalau dia’mi mau-maunya, datang pi mungkin moodnya baru mau rekaman,” ujar Artha dengan raut lemas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan. “Pertengahan tahun 2014 saya pernah betul-betul stuck (berhenti) selama seminggu. Mungkin karena terlalu fokus dengan musik dan keseringan mendengarkan lagu-lagu yang itu-itu terus,” lanjutnya.
Semua rekaman yang dikerjakan oleh Tabasco rampung pada Desember 2014. Setelah itu, dilanjut lagi dengan proses mastering. Karena peralatan untuk proses tersebut mereka belum punya dan membutuhkan keahlian khusus, pekerjaan itu pun diserahkan ke pihak luar. Proses masteringnya mulai Januari 2015 dan selesai bulan April 2015.
Cover warna hijau, merah, kuning dan biru album Solitary dikerjakan oleh Asnur, seorang arsitek muda yang juga biasa bermain musik bersama Artha di band Eddington. Menurut Asnur, ia sengaja memasukan 4 unsur warna sebagai representasi dari lahir, susah, sukses dan menderita. Lagu-lagu dalam album Tabasco juga lebih kearah keempat unsur tersebut. Sedang corak desainnya lebih mengarah ke aliran Tabasco, yakni britpop. Untuk warna sendiri ia sengaja tidak beri pola, kesannya seperti isi kepala Artha yang belum berpola tapi penuh dengan kejutan. “Ini desain paling banyak revisinya yang pernah saya kerja. Ada 11 kali revisi kalau tidak salah,” lanjutnya lewat percakapan aplikasi chatting.
Album Solitary ini tentang hal-hal apa yang mungkin terpikirkan saat ‘menikmati kesunyian’ baik itu senang dan bahagia, berisi 13 lagu yang kesemua berlirik berbahasa Inggris, yakni After rain, Sunday romance, Radio, Paper plane, Roller coaster, Antenna, Giving up the pain, Street lights, Green lake, Try, Spectacle, Silent echo, Yellow fragile heart. Menurut Artha, biasanya orang membuat konsep album dengan menghubungkan lagu pertama hingga lagu terakhir. Tapi di album perdana Tabasco ini tidak seperti itu; yang menghubungkan kesemua lagu hanya Solitary atau kesunyian. “Garis merah dalam album ini ada pada lirik dan cara saya membuat lagu. Sebenearnya album ini bisa dikatakan best of the best dari lagu-lagu tabasco,” lanjutnya sambil kembali membakar rokoknya.
Untuk proses pemasaran dan distribusi albumnya, Artha membangun sebuah perusahaan record bersama teman-temannya yang diberi nama Aliquisallie. Album Tabasco yang dihargai Rp. 40.000 tersebut akan didistribusikan oleh perusahaan tersebut ke 40 titik di Indonesia. “Berkah dari kesabaran mengurus album ini adalah kami membuat usaha record sendiri bersama teman-teman. Kemarin (23 juni 2015) juga Tabasco sudah membuat video clip dari album ini dan dikerjakan juga oleh Aliquisallie,” ujarnya dengan senyum kecil.
note: artikel ini sudah diposting di http://makassarnolkm.com/solitary-kolase-musik-dan-perayaan-kesunyian/
cuma dengan warna-warni harganya sudah 40rbu ya mas :)
ReplyDeleteGak ada contoh musiknya nih?
ReplyDeleteMisal via soundcloud gitu.