Saat persiapan kegiatan Bom Benang 2014 tanggal 9 oktober di Kampung Buku – CV Dewi, terlihat 4 orang anak yang berusia kisaran 10 – 14 tahun lagi asik bermain bola tepat di depan penyelenggaraan event tahunan Komunitas Perajut Makassar saat itu. Anak-anak yang memainkan olahraga paling populer itu menggunakan sendal-sendalnya sebagai pembatas gawang, sesekali terlihat kendaraan-kendaraan yang hilir mudik di tempat mereka bermain bola seakan menjadi wasit dalam permainan yang mereka mainkan, ketika ada motor / mobil lewat mereka pun berhenti sesaat. Yah lapangan tempat mereka bermain bola sore itu berumputkan aspal.
Bola plastik yang mereka gunakan bermain sesekali masuk ke dalam selokan sisi jalan, “bersihkan’ki dulu deh, na kasih kotor nanti baju (bersihkan dulu, nanti baju saya kotor)” ujar seorang anak dengan logat Makassarnya yang ikut bermain bola. Seorang anak yang berbaju tim Barcelona terlihat mengambil bola dalam selokan tersebut dan membantingnya berkali-kali di atas aspal, setelah itu mereka pun melanjutkan permainannya kembali.
“Gooooollllllllll”, teriak anak yang memakai jersey Barcelona saat berhasil memasukan bola di antara sendal-sendal yang mereka jadikan penanda gawang. Teman yang setim dengan anak yang mencetak gol tersebut berlari memeluk temannya seperti halnya pemain profesional saat melakukan selebrasi saat mencetak gol.
Cuaca sore itu semakin teduh lewat tawa-tawa alami mereka saat bermain sepakbola beralaskan rumput aspal yang mungkin tidak akan pernah dimainkan dengan cara profesional. Melihat hal tersebut saya kembali mengingat ketika usia saya seperti mereka saat menetap di kota Samarinda. Saya dan beberapa teman sebaya saat itu sering juga bermain bola di atas lapangan berumput aspal kota, sangat sering ketika permainan selesai kami mengalami luka di kaki akibat lebutnya rumput aspal lapangan kami. Pernah di suatu waktu ketika bermain bola, saat seorang teman lagi ingin menendang bola, kaki luarnya terseret di atas aspal karena tidak memperhitungkan jarak aspal dan tinggi kakinya, akibatnya punggung kaki teman itu terlihat putih lalu merah saat darahnya mulai keluar.
Bagi sebagian kota termasuk Makassar, menyediakan lapangan bermain untuk anak-anak kecil yang hidup di kota bukanlah sebuah prioritas utama, mungkin mereka akan lebih memilih membangun sentral-sentral pemasaran kota yang megah ketimbang menyediakan prasarana lapangan bermain anak di kota tempat mereka pimpin. Bagi saya, sepakbola rumput aspal adalah sebuah bukti bahwa tata kelolah kota di Indonesia tidak diperuntukkan bagi anak kecil yang ingin bermain. Sekeras itukah kota pada anak ?
0 comments:
Post a Comment