Perihal Hujan dan Jendela
Tak ada yang lebih haru dari hadir yang ditunggu [1] seperti seorang ibu merayakan haru rindunya pada anaknya yang pulang, [2] senyum kecil seorang anak pada penjual mainan bersepeda yang sekedar lewat depan rumahnya, [3] atau seperti saya mendambakan kau yang hujan di balik jendela.
Ketahuilah, dahulu saya senang melihat hujan dari balik jendela rumah di kampung. Kadang hujan tahu bagaimana mengiringi Ibu yang sabar melantunkan Yaba’ Lale’ di bawah kolong rumah panggung, untuk si Bungsu dalam ayunan sarung.
Sejak saat itu setiap senja tiba, saya selalu duduk di balik jendela. Menunggu ia membawa rindu di antara rintik-rintiknya yang pemalu, atau sekedar bercerita di antara jendela tentang wajah langit yang sendu dan kadang pemarah.
Hingga haru yang ditunggu pun hadir, saya dan jendela merayakan takdir!
Sore itu di antara langit bermata teduh dan tanah kering, rintiknya turun membawa haru yang diharap. Tanpa menunggu aba-aba, saya sudah duduk kembali di balik jendela, merajut payung dari petrichor sambil menanti senja dan pelangi.
Mulai Saat Itu Dunia Saya Bernama Kau Yang Hujan
Note: Yaba’ Lale’ adalah lagu yang biasa dinyanyikan Perempuan Bugis saat menidurkan anaknya di ayunan - Petrichor adalah aroma yang timbul saat hujan menyentuh tanah.
Suka ka juga yabe lale
ReplyDelete